## Penculikan Aktivis 1997-1998: Bayang-Bayang Orde Baru dan Perburuan Keadilan yang Tak Berujung
Penculikan aktivis pro-demokrasi yang terjadi antara Pemilu Legislatif 1997 dan jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 merupakan salah satu catatan kelam sejarah Indonesia. Kejadian ini bukan sekadar penculikan biasa, melainkan sebuah rangkaian operasi terencana yang terbagi dalam tiga fase mencekam: sebelum Pemilu Legislatif Mei 1997, dua bulan sebelum Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Maret 1998, dan menjelang pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998. Tragisnya, hingga kini, nasib para aktivis yang diculik pada fase pertama dan ketiga masih menjadi misteri, menghilang tanpa jejak. Hanya sebagian aktivis yang diculik pada fase kedua yang berani bersaksi dan mengungkap pengalaman mengerikan mereka, mengungkapkan kisah penyiksaan dan penderitaan yang tak terlupakan.
Latar belakang peristiwa ini tak lepas dari konteks Orde Baru (Orba), era pemerintahan Presiden Soeharto yang dimulai pada tahun 1966. Soeharto mengklaim Orde Barunya sebagai kontras dari Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah “Orde Baru” semakin identik dengan praktik otoritarianisme, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela selama tiga dekade pemerintahan Soeharto (1965-1998).
Awalnya, Orde Baru mendapatkan dukungan luas dari masyarakat yang mendambakan stabilitas politik dan pemulihan ekonomi setelah periode pergolakan sosial-politik dan ekonomi yang kacau di akhir tahun 1950-an hingga pertengahan 1960-an. Munculnya “Generasi 66” menandai optimisme akan kepemimpinan muda dan pemikiran intelektual baru. Namun, komitmen Orde Baru terhadap ketertiban politik, pembangunan ekonomi, dan pengurangan partisipasi politik massal justru berujung pada penguatan peran militer, birokratisasi dan korporatisasi organisasi politik dan sosial, serta represi selektif namun efektif terhadap lawan-lawan politik. Anti-komunisme yang keras menjadi ciri khas rezim ini selama 32 tahun.
Ironisnya, banyak sekutu awal Orde Baru akhirnya berbalik arah, mengingat rezim ini pada dasarnya dijalankan oleh faksi militer yang didukung oleh kelompok sipil sempit. Bagi sebagian besar gerakan pro-demokrasi yang berperan memaksa Soeharto lengser pada Revolusi 1998, istilah “Orde Baru” kini menjadi sinonim dari pemerintahan otoriter dan praktik-praktik kotor yang dianutnya. Istilah ini sering digunakan untuk menyebut tokoh-tokoh yang terkait dengan rezim Soeharto atau yang mempertahankan praktik-praktik otoriter seperti KKN.
Pada tahun 1996, Soeharto berupaya mencegah tantangan terhadap kekuasaannya. Partai Demokrasi Indonesia (PDI), partai legal yang selama ini mendukung rezim, mulai menunjukkan sikap independen. Soeharto pun memprovokasi perpecahan di tubuh PDI, mendukung faksi Suryadi, Wakil Ketua DPR, melawan faksi Megawati Sukarnoputri, putri Sukarno dan Ketua Umum PDI.
Peristiwa “Sabtu Kelabu” (27 Juli 1997) menjadi titik balik. Setelah faksi Suryadi memecat Megawati, demonstrasi besar-besaran terjadi di seluruh Indonesia. Puncaknya, militer mengizinkan pendukung Megawati menduduki kantor pusat PDI di Jakarta. Namun, pada 27 Juli, polisi, tentara, dan orang-orang yang mengaku pendukung Suryadi menyerbu kantor pusat PDI, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan ratusan penangkapan dengan tuduhan subversi dan penyebaran kebencian. Peristiwa ini menandai dimulainya tindakan represif Orde Baru terhadap gerakan reformasi.
Penculikan aktivis 1997-1998 yang dilakukan oleh anggota Kopassus, yang saat itu berada di bawah kendali Prabowo Subianto, menjadi bukti nyata dari kebrutalan rezim. Beberapa aktivis yang berhasil dibebaskan mengungkapkan pengalaman mengerikan, termasuk penyiksaan dan keracunan di ruang bawah tanah yang pengap.
Lembaga HAM Kontras mencatat setidaknya 23 aktivis diculik, satu di antaranya ditemukan tewas (Leonardus Gilang), sembilan dibebaskan, dan 13 lainnya masih hilang hingga kini. Di antara yang hilang termasuk nama-nama seperti Wiji Thukul, yang kasusnya hingga kini masih menjadi simbol perjuangan HAM di Indonesia. Para aktivis yang diculik berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan organisasi mahasiswa.
Kopassus, pasukan khusus TNI AD, terlibat langsung dalam penculikan ini. Kesaksian Mugiyanto, salah satu aktivis yang diculik dan disiksa di markas Kopassus, menjadi bukti kuat keterlibatan pasukan elit ini. Meskipun 11 anggota Kopassus, termasuk beberapa anggota Tim Mawar—unit di dalam Kopassus yang diduga sebagai dalang penculikan—divonis bersalah, proses peradilan dianggap tidak tuntas dan banyak pelaku utama yang luput dari jerat hukum.
Kasus ini juga menyoroti peran Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Komandan Kopassus. Meskipun pernah mengakui perannya dalam penculikan, ia kemudian menepis tuduhan tersebut. Namun, kesaksian dan berbagai dokumen menunjukkan keterlibatannya yang erat dalam peristiwa ini. Bahkan, sejumlah saksi menyebutkan Prabowo mendapat perintah dari Soeharto untuk melakukan penculikan tersebut.
Hingga kini, kasus penculikan aktivis 1997-1998 masih menjadi luka yang menganga dalam sejarah Indonesia. Perjuangan keluarga korban yang tergabung dalam IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) untuk mendapatkan keadilan menunjukkan betapa pentingnya pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat ini. Penunjukan kembali mantan anggota Tim Mawar pada posisi strategis di Kementerian Pertahanan pada tahun 2020 makin menggarisbawahi betapa panjangnya jalan menuju keadilan dan rekonsiliasi. Kasus ini menjadi pengingat penting akan pentingnya perjuangan HAM dan peran lembaga hukum dalam melindungi hak-hak asasi manusia. Menuntaskan kasus ini bukan hanya soal penegakan hukum, melainkan juga soal pembangunan demokrasi dan rekonsiliasi nasional yang sesungguhnya.