## Mengapa Kita Sering Overthinking di Malam Hari? Penjelasan Sains di Balik Fenomena Pikiran yang Tak Kunjung Hening
Overthinking, atau berpikir berlebihan, telah menjadi masalah umum di era modern ini. Banyak orang merasakan gejolak pikiran yang tak henti-hentinya, terutama di malam hari ketika seharusnya tubuh beristirahat. Namun, fenomena ini bukanlah sekadar masalah psikologis semata, melainkan juga memiliki penjelasan ilmiah yang mendalam. Artikel ini akan mengupas tuntas alasan di balik overthinking yang sering melanda kita di tengah malam, berdasarkan penemuan para ahli.
Salah satu faktor utama overthinking malam hari, seperti yang dijelaskan oleh psikolog Hope Bastine dalam Net Doctor UK, adalah akumulasi informasi dan proses kognitif yang tertunda. Sepanjang hari, kita dibanjiri oleh berbagai informasi dan tuntutan. Akibatnya, otak kita seringkali tak memiliki waktu dan ruang untuk memproses semua pengalaman dan emosi tersebut secara optimal.
“Kita tidak memiliki waktu dan ruang di siang hari untuk memproses apa yang terjadi, mengevaluasinya, dan memahaminya,” ungkap Bastine. “Terkadang, satu-satunya waktu kita bisa melakukan itu adalah saat kita berada di tempat tidur. Banyak orang mengatakan bahwa begitu mereka di tempat tidur, semua pikiran mereka mulai berputar di kepala mereka—seperti badai—dan mereka tiba-tiba mengingat semua hal yang seharusnya mereka lakukan.”
Peran teknologi dan gadget juga tak dapat diabaikan. Penggunaan perangkat elektronik sebelum tidur dapat memicu gelombang otak beta, yang justru membuat kita tetap waspada, fokus, dan terlibat dalam proses berpikir analitis dan pengambilan keputusan. Kondisi ini, seperti yang ditegaskan Bastine, dapat memicu kecemasan dan menghambat proses tidur yang berkualitas.
Lebih lanjut, peneliti psikologi Gregg Muray dari Swinburne University of Technology memberikan penjelasan dari perspektif ritme sirkadian tubuh. Ia menjelaskan bahwa sekitar pukul 3 atau 4 pagi, sistem neurobiologi tubuh mengalami titik balik. Suhu tubuh mulai meningkat, dorongan tidur berkurang, sekresi melatonin (hormon tidur) mencapai puncaknya, dan kadar kortisol (hormon stres) meningkat untuk mempersiapkan tubuh bangun tidur.
Semua perubahan fisiologis ini terjadi saat tubuh mendeteksi perubahan lingkungan, seperti munculnya cahaya dini hari. Kemampuan tubuh untuk merespon perubahan ini dikendalikan oleh ritme sirkadian—jam internal tubuh yang dipengaruhi oleh cahaya. Muray menambahkan, kita cenderung tidur lebih ringan di paruh kedua malam, sehingga lebih mudah terbangun. Bangun dari tidur ringan ini, terutama di dini hari, seringkali memicu stres dan kecemasan.
Kondisi terbangun di jam-jam seharusnya tidur ini dapat menyebabkan *anxious wakefulness*, yaitu terbangun dalam keadaan cemas. Menurut Muray, kecemasan ini muncul dari kecenderungan otak untuk mengidentifikasi masalah, langsung melompat ke kesimpulan terburuk (catastrophizing), dan mengabaikan aspek-aspek positif atau solusi potensial.
Pukul 3 dini hari juga merupakan waktu terendah secara fisik dan kognitif. Meskipun merupakan waktu pemulihan tubuh, pada saat ini akses kita terhadap sumber daya eksternal sangat terbatas. Cahaya alami minim, dan akses ke dukungan sosial seperti berbincang dengan teman atau melakukan aktivitas di luar rumah sangat terbatas. Keterbatasan akses ke mekanisme *coping* atau strategi mengatasi kecemasan ini di dini hari membuat pikiran cenderung berfokus pada hal-hal negatif dan memicu overthinking.
Kesimpulannya, overthinking malam hari bukanlah sekadar masalah mental, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor biologis, fisiologis, dan lingkungan. Memahami mekanisme di balik fenomena ini dapat membantu kita mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi overthinking dan meningkatkan kualitas tidur. Penting untuk membatasi penggunaan gadget sebelum tidur, menciptakan lingkungan tidur yang nyaman, dan mengembangkan kebiasaan manajemen stres yang sehat untuk mengatasi pikiran-pikiran yang mengganggu di malam hari.